Narasumber : http://www.muslimdaily.net/artikel/islami/8054/10-malam-terakhir-ramadhansulit-untuk-dilewatkan
Sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan adalah hari yang sangat istimewa.
Hari
yang pertama terjadi pada malam menjelang hari ke 21 Ramadhan. Dengan
kata lain, malam itu dimulai setelah selesainya 20 hari puasa.
Kadang-kadang
hanya ada sembilan malam, setiap kali bulan Ramadan hanya berlangsung
selama 29 hari. Namun demikian, secara tradisional kita menyebutnya
sebagai "sepuluh malam terakhir".
Sepuluh malam terakhir bulan
Ramadhan sangat istimewa. Ini adalah malam yang Nabi Muhammad (saw)
menghabiskan dalam ibadah. Di antaranya adalah malam Lailatul-Qadr,
malam yang lebih mulia daripada seribu bulan.
Nabi Muhammad (saw)
menggunakan masing-masing hari untuk memperkuat ibadah beliau. Dia
mengerahkan segala yang ada dalam dirinya untuk ibadah selama sepuluh
malam itu melebihi malam-malam yang lain.
Aisyah memberitahu
kita: "Selama sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, Nabi (saw) akan
memperketat ikat pinggang dan menghabiskan malam dalam ibadah. Dia juga
membangunkan keluarganya.." (Al Bukhari)
Ketika kita mengatakan
bahwa Nabi Muhammad menghabiskan sepanjang malam dalam ibadah, kita
harus memenuhi syarat. Hal ini karena ia akan menghabiskan waktu makan
malam, mengambil pra-fajar makanannya, dan kegiatan lainnya. Namun, ia
akan menghabiskan sebagian malam dalam ibadah.
Timbul pertanyaan
mengapa demikian? Mengapa Nabi SAW mendorong umatnya untuk
melipatgandakan ibadah dalam waktu tersebut? Jawabnya singkat, karena
pada malam-malam bulan Ramadhan tersebut, terutama pada malam-malam yang
ganjil terdapat malam Lailatul qadar, malam kemuliaan yang sangat
istimewa yang semua orang berlomba memburunya, yaitu malam yang lebih
baik dari seribu bulan, sebagai bonus hadiah Tuhan bagi orang yang
ikhlas mengabdi kepada-Nya.
Lailatul qadar ibarat benda elok yang
sangat indah namun langka, tak heran jika tak mudah meraihnya, karena
mahal harga belinya. Malam kemuliaan tersebut hanya dapat dibeli dengan
pengorbanan jiwa raga, dengan amalan-amalan ibadah yang telah dituntun
oleh Agama sepertimelakukan qiyamullail, berpuasa sesuai tuntunan,
tilawah dan tadarus Al-Quran dengan tadabbur, berdoa, zikir,
memperbanyak istighfar, muhasabah diri, perbanyak sedekah serta amalan
ma’ruf lainnya untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat pada umumnya.
Lailatul
qadar dirahasiakan, jelas sesuatu yang mahal dan langka tentu
dirahasiakan dan tidak diobral, agar umat semangat berlomba memburunya,
dan agar ibadat tidak hanya dilakukan pada waktu tertentu saja, namun
pengabdian haruslah langgeng terus dilakukan semasih hayat masih kandung
badan.
Iktikaf
Hakikatnya, I’tikaf
adalah memisahkan diri untuk sementara waktu dari hiru biru kemelut
kehidupan beragam di tengah masyarakat dan membenamkan diri dalam
kehidupan beragama yang focus, dan dilakukan dengan berdiam diri di
Masjid. Intinya adalah konsentrasi meningkatkan ketaqwaan.
Makna I’tikaf secara syariat adalah :
Mendiami Masjid dan menetap di dalamnya dengan niat bertaqorrub kepada Alloh Ta’ala.
Disyariatkannya I'tikaf :
Para
ulama bersepakat akan pensyariatannya. ”Karena Nabi Shallallahu 'alaihi
wa Salam dulu pernah beri’tikaf pada sepuluh akhir bulan Ramadhan
sampai Alloh Azza wa Jalla mewafatkan beliau. Kemudian isteri-isteri
beliau beri’tikaf setelah wafatnya beliau.”
Fadhilah ( keutamaan ) I'tikaf :
Abu
Daud pernah bertanya kepada Imam Ahmad: Tahukan anda hadits yang
menunjukkan keutamaan I'tikaf? Ahmad menjawab : tidak kecuali hadits
lemah. Namun demikian tidaklah mengurangi nilai ibadah I'tikaf itu
sendiri sebagai taqorrub kepada Allah SWT. Dan cukuplah keuatamaanya
bahwa Rasulullah SAW, para shahabat, para istri Rasulullah SAW dan para
ulama' salafus sholeh senantiasa melakukan ibadah ini.
Macam-macam i’tikaf :
a. I’tikaf yang wajib : yaitu apabila seseorang mewajibkan atas dirinya untuk melakukannya dengan sebab nadzar.
b.
I’tikaf yang sunnah : yaitu apabila seorang muslim melaksanakannya
dengan maksud mendekatkan diri kepada Alloh dan meneladani Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Salam. Ditekankan pelaksanannya pada sepuluh hari
terakhir pada bulan Ramadhan.
Waktu i’tikaf :
”Adalah Nabi
Shallallahu 'alaihi wa Salam apabila bermaksud untuk melaksanakan
i’tikaf, beliau sholat fajar lalu memasuki tempat i’tikaf beliau.”
(muttafaq ’alaihi) [Yaitu pada pagi hari kesepuluh bulan Ramadhan].
”Nabi pernah beri’tikaf pada sepuluh hari dibulan Syawwal.” (muttafaq
’alayhi).
Syarat mu’takif (orang yang beri’tikaf) :
Dia haruslah seorang yang mumayyiz (berakal sehat dan baligh) dan suci dari janabat, haidh dan nifas.
Rukun I’tikaf :
Menetap
di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Alloh Ta’ala. Disini ada
dua pendapat ulama tentang masjid tempat i'tikaf . Sebagian ulama
membolehkan i'tikaf disetiap masjid yang dipakai shalat berjama'ah lima
waktu. Hal itu dalam rangka menghindari seringnya keluar masjid dan
untuk menjaga pelaksanaan shalat jama'ah setiap waktu. Ulama lain
mensyaratkan agar i'tikaf itu dilaksanakan di masjid yang dipakai buat
shalat jum'at, sehingga orang yang i'tikaf tidak perlu meninggalkan
tempat i'tikafnya menuju masjid lain untuk shalat jum'at. Pendapat ini
dikuatkan oleh para ulama Syafi'iyah bahwa yang afdhol yaitu i'tikaf di
masjid jami', karena Rasulullah SAW i'tikaf di masjid jami'. Lebih
afdhol di tiga masjid; masjid al-Haram, masjij Nabawi, dan masjid Aqsho.
Awal dan akhir I'tikaf :
Khusus
i'tikaf Ramadhan waktunya dimulai sebelum terbenam matahari malam ke
21. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : " Barangsiapa yang ingin i'tikaf
dengan ku, hendaklah ia beri'tikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan (HR.
Bukhori). 10 (sepuluh) disini adalah jumlah malam, sedangkan malam
pertama dari sepuluh itu adalah malam ke 21 atau 20. Adapun waktu
keluarnya atau berakhirnya, kalau i'tikaf dilakukan 10 malam terakhir,
yaitu setelah terbenam matahari, hari terakhir bulan Ramadhan. Akan
tetapi beberapa kalangan ulama mengatakan yang lebih mustahab
(disenangi) adalah menuggu sampai shalat ied.
Yang dibolehkan bagi orang yang beri’tikaf :
a.
Keluar dari tempat i’tikaf-nya untuk mengantarkan keluarganya,
sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap istrinya
Shofiyah ra. (HR. Riwayat Bukhori Muslim)
b. Menyisir rambut, mencukur rambut, menggunting kuku, membersihkan badan (mandi), berparfum dan menggunakan pakaian yang bagus.
c.
Keluar dari masjid untuk menunaikan hajat yang mendesak, seperti buang
air besar dan kecil, makan dan minum apabila tidak ada yang mengantarkan
makanannya.
d. Bagi seorang yang beri’tikaf, ia haruslah makan, minum dan tidur di Masjid dengan tetap harus menjaga kebersihannya.
Etika di dalam I’tikaf :
Dari
’Aisyah radhiyallahu ’anha beliau berkata : ”Tuntunan di dalam i’tikaf
yaitu tidak keluar kecuali untuk menunaikan hajat yang mendesak, tidak
mengunjungi orang sakit, tidak menyentuh dan berkumpul (jima’) dengan
isterinya, dan tidak ada i’tikaf kecuali di Masjid Jama’ah. Juga
merupakan tuntunan adalah bagi orang yang beri’tikaf tetap harus
berpuasa.” (Shahih, HR al-Baihaqi).
Yang membatalkan i’tikaf :
-
Jima’ (bersetubuh dengan istri) (QS. 2: 187). Akan tetapi memegang
tanpa syahwat, tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan
istri-istrinya
- Keluar dari masjid tanpa ada keperluan secara sengaja.
- Hilangnya ingatan karena gila atau mabuk
- Mengalami haidh dan nifas
- Pergi shalat jum'at ( bagi mereka yang membolehkan i'tikaf di mushalla yang tidak dipakai shalat jum'at)
Yang disunnahkah bagi mu’takif :
Memperbanyak
ibadah-ibadah nafilah seperti sholat, membaca Al-Qur`an, berdzikir dan
membaca buku-buku agama. Termasuk juga didalamnya pengajian, ceramah,
ta'lim, diskusi ilmiah, tela'ah buku tafsir, hadits, siroh dan
sebagainya. Namun demikian yang menjadi prioritas utama adalah
ibadah-ibadah mahdhah. Bahkan sebagian ulama meninggalkan segala
aktifitas ilmiah lainnya dan berkonsentrasi penuh pada ibadah-ibadah
mahdhah.
Yang dibenci bagi mu’takif :
Menyibukkan dirinya
dengan hal-hal yang tidak bermanfaat baik berupa perkataan maupun
perbuatan, dan menahan diri dari berbicara dengan anggapan hal ini
sebagai pendekatan diri kepada Alloh. [Lihat Fiqhus Sunnah].
I'tikaf bagi Muslimah :
I'tkaf
disunnahkan bagi wanita sebagaimana disunnahkan bagi pria. Selain
syarat-syarat yang disebutkan tadi, i'tikaf bagi kaum wanita harus
memenuhi syarat-syarat antara lain Mendapat izin (ridlo) suami atau
orang tua. Hal itu disebabkan karena ketinggian hak suami bagi istri
yang wajib ditaati, dan juga dalam rangka menghindari fitnah yang
mungkin terjadi.
Tempat i'tikaf wanita agar memenuhi kriteria
syari'at : Kita telah mengetahui bahwa salah satu rukun atau syarat
i'tikaf adalah masjid. Untuk kaum wanita, ulama sedikit berbeda pendapat
tentang masjid yang dapat dipakai wanita beri'tikaf. Tetapi yang lebih
afdhol "wallahu 'alam" ialah tempat shalat di rumahnya. Oleh karena
bagi wanita tempat shalat dirumahnya lebih afdhol dari masjid
wilayahnya. Dan masjid di wilayahnya lebih afdhol dari masjid raya.
Selain itu lebih seiring dengan tujuan umum syari'at Islamiyah, untuk
menghindarkan wanita semaksimal mungkin dari tempat keramaian kaum pria,
seperti tempat ibadah di masjid. Itulah sebabnya wanita tidak
diwajibkan shalat jum'at dan shalat jama'ah di masjid. Dan seandainya ke
masjid ia harus berada di belakang. Kalau demikian, maka i'tikaf yang
justru membutuhkan waktu lama di masjid , seperti tidur, makan, minum,
dan sebagainya lebih dipertimbangkan. Ini tidak berarti i'tikaf bagi
wanita tidak diperboleh di masjid. Wanita bisa saja i'tikaf di masjid
dan bahkan lebih afdhol apabila masjid tersebut menempel dengan
rumahnya, jama'ahnya hanya wanita, terdapat tempat buang air dan kamar
mandi khusus dan sebagainya.
Pada bulan Ramadhan yang penuh
berkah mari kita kunjungi Masjid untuk beri’tikaf. Meluangkan sedikit
waktu dalam hidup kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Khaliq.
Memuji kebesaran-Nya dan merenungi ke mahakuasaan-Nya. Memohon ampunan
atas segala aktivitas kita yang telah banyak melalaikan sebagian
seruan-seruan-Nya. Berdo’a agar umat Islam di manapun berada diberi
kesabaran, ketabahan, serta kekuatan dalam memecahkan segala
permasalahan hidupnya yang sangat kompleks.
I’tikaf pada dasarnya
dapat dilakukan kapan saja dan dalam waktu berapa lama yang disediakan.
Imam Syafi’i menyebutkan bahwa i’tikaf sudah tercapai dengan cara
berdiam di Masjid beberapa saat dengan niat yang suci dan tulus ikhlas
karena Allah SWT.
Di dalam peri hidup Rasulullah SAW. diceritakan
bahwa baginda Rasulullah SAW selalu melakukan i’tikaf pada sepuluh hari
dan malam terakhir bulan Ramadhan. Ketika itu baginda Rasulullah SAW
memperbanyak membaca Alquran, serta berdo'a kepada Allah SWT.
Anjuran
i’tikaf di malam-malam akhir Ramadhan ini berkaitan erat dengan
datangnya Lailatul Qadar yaitu malam kemuliaan, karena beribadah pada
malam itu dinilai lebih baik dari seribu bulan. Rasulullah SAW bersabda:
“Carilah (malam qadar) itu pada sepuluh akhir dari bulan Ramadhan” (HR.
Ahmad dan Bukhari)
Malam Qadar itu wajar saja di tunggu-tunggu
oleh setiap muslim yang mendambakan kebaikan dan kebahagiaan dalam hidup
di dunia dan akhirat. Namun perlu diingat bahwa Lailatul qadar hanya
akan datang mengunjungi seseorang pada tingkat kesucian akhlak dan
spritualitas yang terjaga baik.
Hikmah dibalik dianjurkannya
ummat Islam ber-i’tikaf di bulan Ramadhan. Luar biasa ! I’tikaf adalah
saat dimana ummat Islam benar-benar merasakan nilai persaudaraan.
Melihat saudara-saudaranya datang dari segala penjuru (biasanya terjadi
di Masjid-masjid Besar), dengan berbagai macam karakteristiknya.
Perbedaan khilafiyah tidak menjadikan alasan mereka untuk tidak bersatu.
Semua merasakan larut dalam nuansa taqarrub kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala. Tentu keutamaan yang paling utama adalah, Allah Subhanahu Wa
Ta’ala akan menurunkan malam Laylatul Qadr pada salah satu di antara
sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana firman-Nya :
“Sesungguhnya
Kami menurunkannya (Al Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi. dan
sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan
segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44]: 3-4)
Malam
yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam lailatul qadar sebagaimana
ditafsirkan pada surat Al Qadar. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al Qadar
[97]: 1)
Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksud disebutkan dalam
ayat selanjutnya, “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin
Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan
sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadar [97] : 3-5)
Di lihat dari
waktu datangnya lailatul qadar itu bukan di awal, melainkan di akhir
Ramadhan. Didapat pelajaran besar bagi umat Islam bahwa menjelang
berakhirnya puasa Ramadhan, tentu umat akan mencapai tingkat kematangan
dan kesempurnaan jiwa, melalui ibadah puasa yang telah dilakukan. Umat
muslim memiliki kesiapan mental untuk menerima kehadiran malam kemuliaan
yang agung itu.
Dari sisi tempat penyambutannya adalah di Masjid
dengan melakukan i’tikaf sebagai kegiatan ibadah menyambut datangnya
lailatul qadar itu. Masjid adalah tempat suci yang diungkap dengan
sebutan Bait Allah (rumah Allah) sebagai tempat dilakukan berbagai
kebajikan. Masjid adalah tempat melepaskan diri dari berbagai
hiruk-pikuk kehidupan dunia yang menyesakkan, dan meraih pencerahan iman
dan rohani umat muslimin.
Sesungguhnya ibadah puasa dengan
i’tikaf yang intensif pada sepuluh hari terakhir Ramadhan akan dapat
mengantar umat Islam meraih lailatul qadar itu. Makna terkandung dalam
lailatul qadar adalah perubahan hidup dari kegelapan menuju kehidupan
yang terang-benderang di bawah petunjuk hidayah Allah SWT.
Melaksanakan
i’tikaf adalah suatu ibadah sangat terpuji. Rasulullah SAW. bersabda:
“Siapa yang beri’tikaf sehari demi mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala
semata, maka Allah benkenan membuat antara dia dan api (neraka) tiga
buah parit, tiap parit lebih jauh dari masyriq dan maghrib” (HR.
Thabrani).
Melihat kesungguhan Rasulullah Shalallahu ‘Alayhi Wa
Sallam, jelas sangat kontradiktif dengan kondisi ummat muslim saat ini.
Menjelang hari Raya ‘Idul Fitri, sungguh keramaian malah terjadi di
Departement Store, pusat-pusat perbelanjaan. Para ibu sibuk memikirkan
‘suguhan‘ di hari Raya. Padahal dari kedua buah hadits testimoni ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha di atas, sangat jelas: Rasulullah Shalallahu
‘Alayhi Wa Sallam semakin sibuk dengan aktifitas ibadahnya. Tilawatil
(membaca) Qur’an, Shalat, Dzikr, Sedekah, Taqarrub dan bermunajat kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Larut dalam nuansa ketenangan dan
kesungguhan.
Merugilah kita yang luput dari peningkatan ibadah
pada hari-hari sepuluh terakhir ini. Kebahagiaan mukmin sebenarnya bukan
hanya karena akan mendapatkan bonus pahala lailatul qadar dan
sejenisnya, namun kebahagiaan mukmin adalah saat dirinya mengabdi, mohon
ampun, berserah dan tunduk kepada pencipta-Nya, karena itulah nikmat
besar yang tiada taranya!
[muslimdaily.net/bbs]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tafsir Al-Quran:
0 komentar:
Posting Komentar