Narasumber : http://ghazi.abatasa.com/post/kategori/3571/kajian-utama
Tidak
ada satu kejadian di antara sekian banyak kejadian yang ditampakkan
Allah swt di hadapan hamba-Nya, melainkan agar kita bisa mengambil
pelajaran dan hikmah dari kekuasaan yang Allah swt tampakkan tersebut.
Yang pada akhirnya, kita dituntut untuk selalu mawas diri dan melakukan
muhasabah.
Di
antara bukti kekuasaan Allah swt itu, ialah terjadinya gerhana. Sebuah
kejadian besar yang banyak dianggap remeh manusia. Padahal Rasulullah
Shallallahu saw justru memperingatkan umatnya untuk kembali ingat dan
segera menegakkan shalat, memperbanyak dzikir, istighfar, doa, sedekah,
dan amal shalih tatkala terjadi peristiwa gerhana. Dijelaskan oleh
Rasulullah saw dalam sabdanya:
Sesungguhnya
matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah.
Sesungguhnya keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang,
dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu, bila kalian
melihatnya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat dan
bersedekahlah. (Muttafaqun ‘alaihi).
PENGERTIAN GERHANA
Dalam
istilah fuqaha dinamakan kusûf. Yaitu hilangnya cahaya matahari atau
bulan atau hilang sebagiannya, dan perubahan cahaya yang mengarah ke
warna hitam atau gelap. Kalimat khusûf semakna dengan kusûf. Ada
pula yang mengatakan kusûf adalah gerhana matahari, sedangkan khusûf
adalah gerhana bulan. Pemilahan ini lebih masyhur menurut bahasa.1
Jadi, shalat gerhana, ialah shalat yang dikerjakan dengan tata cara dan
gerakan tertentu, ketika hilang cahaya matahari atau bulan atau hilang
sebagiannya.
HUKUM SHALAT GERHANA
Jumhur ulama’
berpendapat, shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah. Abu ‘Awanah
Rahimahullah menegaskan wajibnya shalat gerhana matahari. Demikian pula
riwayat dari Abu Hanifah Rahimahullah, beliau memiliki pendapat yang
sama. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa beliau menempatkannya seperti
shalat Jum’at. Demikian pula Ibnu Qudamah Rahimahullah berpendapat,
bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah.2
Adapun
yang lebih kuat, ialah pendapat yang mengatakan wajib, berdasarkan
perintah yang datang dari Nabi saw. Imam asy-Syaukani juga menguatkan
pendapat ini. Demikian pula Shiddiq Hasan Khân Rahimahullah dan Syaikh
al-Albâni Rahimahullah.3 Dan Syaikh Muhammad bin Shâlih
‘Utsaimin Rahimahullah berkata: “Sebagian ulama berpendapat, shalat
gerhana wajib hukumnya, berdasarkan sabda Nabi saw. Jika kalian
melihatnya, berdzikirlah,shalatlah ... (Mutafaq Alaih)
Sesungguhnya,
gerhana merupakan peristiwa yang menakutkan. Nabi saw berkhutbah dengan
khutbah yang agung, menjelaskan tentang surga dan neraka. Semua itu
menjadi satu alasan kuat wajibnya perkara ini, kalaupun kita katakan
hukumnya sunnah tatkala kita melihat banyak orang yang meninggalkannya,
sementara Nabi saw sangat menekankan tentang kejadian ini, kemudian
tidak ada dosa sama sekali tatkala orang lain mulai berani
meninggalkannya. Maka, pendapat ini perlu ditilik ulang, bagaimana bisa
dikatakan sesuatu yang menakutkan kemudian dengan sengaja kita
meninggalkannya? Bahkan seolah hanya kejadian
biasa saja? Dimanakah rasa takut?
biasa saja? Dimanakah rasa takut?
Dengan
demikian, pendapat yang mengatakan wajib, memiliki argumen sangat kuat.
Sehingga jika ada manusia yang melihat gerhana matahari atau bulan,
lalu tidak peduli sama sekali, masing-masing sibuk dengan dagangannya,
masing-masing sibuk dengan hal sia-sia, sibuk di ladang; semua itu
dikhawatirkan menjadi sebab turunnya adzab Allah, yang kita
diperintahkan untuk mewaspdainya. Maka pendapat yang mengatakan wajib
memiliki argumen lebih kuat daripada yang mengatakan sunnah.4
Adapun shalat gerhana bulan, terdapat dua pendapat yang berbeda dari kalangan ulama
Pendapat pertama.
Sunnah muakkadah, dan dilakukan secara berjama’ah seperti halnya shalat
gerhana matahari. Demikian ini pendapat Imam asy- Syâfi’i, Ahmad, Dawud
Ibnu Hazm. Dan pendapat senada juga datang dari ‘Atha, Hasan,
an-Nakha`i, Ishâq dan riwayat dari Ibnu ‘Abbas ra.5 Dalil mereka:
Sesungguhnya
matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah.
Sesungguhnya, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian
seseorang, dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu,
bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai
terang kembali. (Muttafqun ‘alaihi).
Pendapat kedua. Tidak dilakukan secara berjama’ah. Demikian ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Mâlik.6
Dalilnya, bahwa pada umumnya, pelaksanaan shalat gerhana bulan pada
malam hari lebih berat dari pada pelaksanaannya saat siang hari.
Sementara itu belum ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi saw
menunaikannya secara berjama’ah, padahal kejadian gerhana bulan lebih
sering dari pada kejadian gerhana matahari
Manakah
pendapat yang kuat? Dalam hal ini, ialah pendapat pertama, karena Nabi
saw memerintahkan kepada umatnya untuk menunaikan keduanya tanpa ada
pengecualian antara yang satu dengan lainnya (gerhana matahari dan
bulan).7 Sebagaimana di dalam hadits disebutkan :
Maka
Rasulullah saw keluar menuju masjid, kemudian beliau berdiri,
selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di belakangya. (Muttafaqun ‘alaihi).
WAKTU SHALAT GERHANA
Shalat dimulai dari awal gerhana matahari atau bulan sampai gerhana tersebut berakhir. Berdasarkan sabda Nabi saw :
Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai kembali terang. (Muttafaqun ‘alaihi).
KAPAN GERHANA DIANGGAP USAI?
Shalat
gerhana matahari tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara, yaitu
(1) terang seperti sedia kala, dan (2) gerhana terjadi tatkala matahari
terbenam. Demikian pula halnya dengan shalat gerhana bulan, tidak
ditunaikan jika telah muncul dua perkara, yaitu (1) terang seperti sedia
kala, dan (2) saat terbit matahari.9
AMALAN YANG DIKERJAKAN KETIKA TERJADI GERHANA :
1. Memperbanyak dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan amal shalih. Sebagaimana sabda Nabi saw :
Oleh karena itu, bila kaliannya melihat, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah. (Muttafaqun ‘alaihi).
Oleh karena itu, bila kaliannya melihat, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah. (Muttafaqun ‘alaihi).
2. Keluar menuju masjid untuk menunaikan shalat gerhana berjama’ah, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
Maka Rasulullah saw keluar menuju masjid, kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di belakangnya. (Muttafaqun ‘alaihi).
Maka Rasulullah saw keluar menuju masjid, kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di belakangnya. (Muttafaqun ‘alaihi).
3. Wanita keluar untuk ikut serta menunaikan shalat gerhana, sebagaimana dalam hadits Asma’ binti Abu Bakr ra berkata:
Aku mendatangi ‘Aisyah istri Nabi saw tatkala terjadi gerhana matahari. Aku melihat orang-orang berdiri menunaikan shalat, demikian pula ‘Aisyah aku melihatnya shalat… (Muttafaqun ‘alaihi).
Aku mendatangi ‘Aisyah istri Nabi saw tatkala terjadi gerhana matahari. Aku melihat orang-orang berdiri menunaikan shalat, demikian pula ‘Aisyah aku melihatnya shalat… (Muttafaqun ‘alaihi).
4. Shalat
gerhana (matahari dan bulan) tanpa adzan dan iqamah, akan tetapi diseru
untuk shalat pada malam dan siang dengan ucapan “ash-shalâtu jâmi’ah”
(shalat akan didirikan), sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah
bin ‘Amr ra, ia berkata:
Ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah saw diserukan “ash-shalatu jâmi’ah” (sesungguhnya shalat akan didirikan). (HR Bukhâri).
Ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah saw diserukan “ash-shalatu jâmi’ah” (sesungguhnya shalat akan didirikan). (HR Bukhâri).
5. Khutbah setelah shalat, sebagaimana disebutkan dalam hadits, ‘Aisyah ra berkata:
Sesungguhnya Nabi saw , tatkala selesai shalat, dia berdiri menghadap manusia lalu berkhutbah. (HR Bukhâri).
TATA CARA SHALAT GERHANA
Tidak
ada perbedaan di kalangan ulama, bahwa shalat gerhana dua raka’at.
Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam hal tata cara
pelaksanaannya. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang berbeda.
Pendapat pertama.
Imam Mâlik, Syâfi’i, dan Ahmad, mereka berpendapat bahwa shalat gerhana
ialah dua raka’at. Pada setiap raka’at ada dua kali berdiri, dua kali
membaca, dua ruku’ dan dua sujud. Pendapat ini berdasarkan beberapa
hadits, di antaranya hadits Ibnu ‘Abbas ra , ia berkata:
Telah
terjadi gerhana matahari pada zaman Nabi saw , maka beliau shalat dan
orang-orang ikut shalat bersamanya. Beliau berdiri sangat lama (seperti)
membaca surat
al-Baqarah, kemudian ruku’ dan sangat lama ruku’nya, lalu berdiri, lama
sekali berdirinya namun berdiri yang kedua lebih pendek dari berdiri yang pertama, kemudian ruku’, lama sekali ruku’nya namun ruku’ kedua lebih pendek dari ruku’ pertama. (Muttafaqun alaih)
Hadits kedua, dari ‘Aisyah ra, ia berkata :
Bahwasanya
Rasulullah saw pernah melaksanakan shalat ketika terjadi gerhana
matahari. Rasulullah berdiri kemudian bertakbir kemudian membaca,
panjang sekali bacaannya, kemudian ruku’ dan panjang sekali ruku’nya,
kemudian mengangkat kepalanya (i’tidal) seraya mengucapkan: “Sami’allahu
liman hamidah,” kemudian berdiri sebagaimana berdiri yang pertama,
kemudian membaca, panjang sekali bacaannya namun bacaan yang kedua lebih
pendek dari bacaan yang pertama, kemudian ruku’ dan panjang sekali
ruku’nya, namun lebih pendek dari ruku’ yang pertama, kemudian sujud,
panjang sekali sujudnya, kemudian dia berbuat pada raka’at yang kedua
sebagimana yang dilakukan pada raka’at pertama, kemudian salam… (Muttafaqun ‘alaihi).
Pendapat kedua.
Abu Hanifah berpendapat bahwa shalat gerhana ialah dua raka’at, dan
setiap raka’at satu kali berdiri, satu ruku dan dua sujud seperti halnya
shalat sunnah lainnya. Dalil yang disebutkan Abu Hanifah dan yang
senada dengannya, ialah hadits Abu Bakrah, ia berkata:
Pernah
terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah saw, maka Rasulullah
keluar dari rumahnya seraya menyeret selendangnya sampai akhirnya tiba
di masjid. Orang-orang pun ikut melakukan apa yang dilakukannya,
kemudian Rasulullah saw shalat bersama mereka dua raka’at. (HR Bukhâri, an-Nasâ‘i).
Dari pendapat di atas, pendapat yang kuat ialah pendapat pertama (jumhur ulama’),
berdasarkan beberapa hadits shahih yang menjelaskan hal itu. Karena
pendapat Abu Hanifah Rahimahullah dan orang-orang yang sependapat
dengannya, riwayat yang mereka sebutkan bersifat mutlak (umum),
sedangkan riwayat yang dijadikan dalil oleh jumhur (mayoritas) ulama
adalah muqayyad.10 Syaikh al-Albâni Rahimahullah berkata : 11
“Ringkas kata, dalam masalah cara shalat gerhana yang benar ialah dua
raka’at, yang pada setiap raka’at terdapat dua ruku’, sebagaimana
diriwayatkan oleh sekelompok sahabat Nabi saw dengan riwayat yang
shahih”. Wallahu a’lam.
Ringkasan tata cara shalat gerhana sebagai berikut.
1. Bertakbir, membaca doa iftitah, ta’awudz, membaca surat al-Fâtihah, dan membaca surat panjang, seperti al- Baqarah.
2. Ruku’ dengan ruku’ yang panjang.
3. Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan : Sami’a-llohuliman hamidah ..
4. Tidak sujud (setelah bangkit dari ruku’), akan tetapi membaca surat al-Fatihah dan surat yang lebih ringan dari yang pertama.
5. Kemudian ruku’ lagi dengan ruku’ yang panjang, hanya saja lebih ringan dari ruku’ yang pertama.
6. Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan : Sami’al-llohu liman hamidah
7. Kemudian sujud, lalu duduk antara dua sujud, lalu sujud lagi.
8. Kemudian berdiri ke raka’at kedua, dan selanjutnya melakukan seperti yang dilakukan pada raka’at pertama
Demikian secara ringkas penjelasan tentang shalat gerhana, semoga bermanfaat. Allohu A’lam
0 komentar:
Posting Komentar