Narasumber : http://kabutfajar.wordpress.com/2010/04/06/kupas-tuntas-cara-shalat-ketika-bepergian-safar/
PENGERTIAN SAFAR

Apakah yang dimaksud dengan safar?
Jawab: Safar adalah perjalanan meninggalkan daerah tempat tinggal untuk keperluan tertentu.

1. Apakah hukum safar dan bagaimana pembagiannya (haram, makruh, mubah, mustahab, wajib)?
Jawab: Berdasarkan hukumnya, safar terbagi menjadi:

a). Haram, safar untuk kemaksiatan atau hal-hal yang dilarang Allah. Termasuk di antaranya adalah safar seorang wanita sendirian tanpa didampingi mahram.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ‏‎ ‎اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ‏‎ ‎النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ‏‎ ‎عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا‎ ‎تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ إِلَّا‎ ‎مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

 
“Dari Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Janganlah seorang wanita safar kecuali bersama seorang mahram…”(H.R al Bukhari dan Muslim).

b) Makruh, seperti seorang yang safar sendirian.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ‏‎ ‎النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ‏‎ ‎عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ‏‎ ‎الْوَحْدَةِ أَنْ يَبِيتَ‏‎ ‎الرَّجُلُ وَحْدَهُ أَوْ‏‎ ‎يُسَافِرَ وَحْدَهُ

 
Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah shollallaahu‘alaihi wasallam melarang dari bersendirian, yaitu seorang bermalam sendirian atau safar sendirian (H.R Ahmad)
c). Mubah, seperti berdagang dengan cara yang halal.
d). Mustahab (disukai), seperti bersilaturrahmi.
e) Wajib, seperti safar untuk tujuan berhaji yang pertama bagi yang mampu.

2. Berapakah jarak minimum safar?
Jawab: Terdapat perbedaan pendapat yang sangat banyak dari para Ulama’, sampai-sampai Ibnul Mundzir menyatakan bahwa dalam masalah ini (penentuan jarak minimum safar) terdapat hampir 20 pendapat. Namun, beberapa pendapat yang masyhur di antaranya:
 
a). Sejauh jarak perjalanan 3 hari.
Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Sa’id bin Jubair, Sufyan atTsaury dan Abu Hanifah. Dalilnya:

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ‏‎ ‎تُؤْمِنُ بِاللَّهِ‏‎ ‎وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ‏‎ ‎تُسَافِرَ سَفَرًا يَكُونُ‏‎ ‎ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا‎ ‎إِلَّا وَمَعَهَا أَبُوهَا‎ ‎أَوْ ابْنُهَا أَوْ زَوْجُهَا‎ ‎أَوْ أَخُوهَا أَوْ ذُو‎ ‎مَحْرَمٍ مِنْهَا

 
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir safar 3 hari atau lebih kecuali bersama ayah, anaknya, suaminya, saudara laki-lakinya, atau mahramnya” (H.R Muslim)

عَنْ شُرَيْحِ بْنِ هَانِئٍ‏‎ ‎قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ‏‎ ‎أَسْأَلُهَا عَنْ الْمَسْحِ‏‎ ‎عَلَى الْخُفَّيْنِ فَقَالَتْ‏‎ ‎عَلَيْكَ بِابْنِ أَبِي‎ ‎طَالِبٍ فَسَلْهُ فَإِنَّهُ‏‎ ‎كَانَ يُسَافِرُ مَعَ رَسُولِ‏‎ ‎اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ‏‎ ‎عَلَيْهِ وَسَلَّمَ‏‎ ‎فَسَأَلْنَاهُ فَقَالَ جَعَلَ‏‎ ‎رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى‎ ‎اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ‏‎ ‎ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ‏‎ ‎وَلَيَالِيَهُنَّ
لِلْمُسَافِرِ

 
Dari Syuraih bin Hani’ beliau berkata: Aku mendatangi Aisyah bertanya tentang mengusap 2 khuf. Aisyah berkata: Tanyakanlah kepada Ali bin Abi Thalib karena ia pernah safar bersama Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam, maka kamipun menanyakan kepada beliau. Ali berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam menjadikan batas pengusapan (khuf) 3 hari 3 malam bagi musafir…”(H.R Muslim)
 
Sebagian Ulama’ menjelaskan bahwa jarak perjalanan 1 hari adalah setara 2 barid = 24 mil = sekitar 43,2 km, sehingga jarak perjalanan 3 hari adalah sekitar 129,6 km.
 
b) Sejauh jarak perjalanan 2 hari ( 4 barid).
Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar (dalam sebagian riwayat), Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad. Sedangkan dari Ulama’ abad ini yang berpendapat demikian adalah Syaikh Bin Baz, Lajnah ad-Daaimah, Syaikh Sholih alFauzan, dan Syaikh Abdullah Ar-Rajihi, Dalilnya:

لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ‏‎ ‎مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ إِلَّا‎ ‎وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو‎ ‎مَحْرَمٍ

 
Janganlah seorang wanita melakukan safar sejarak perjalanan 2 hari kecuali bersama suami atau mahramnya (H.R al Bukhari).
Al-Bukhari menyatakan:

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ‏‎ ‎عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ‏‎ ‎عَنْهُمْ يَقْصُرَانِ‏‎ ‎وَيُفْطِرَانِ فِي أَرْبَعَةِ‏‎ ‎بُرُدٍ وَهِيَ سِتَّةَ عَشَرَ‏‎ ‎فَرْسَخًا

 
Ibnu Umar dan Ibnu Abbas – semoga Allah meridlai keduanya- melakukan qoshor dan berbuka (tidak berpuasa) pada perjalanan 4 barid yaitu 16 farsakh (Shahih al-Bukhari juz 4 halaman 231).
 
c) Tidak ada batasan jarak, selama sudah bermakna ‘safar’ maka terhitung safar.
 
Hal-hal yang membedakan safar dengan perjalanan biasa bisa terlihat dari beberapa indikasi, di antaranya: perlunya membawa bekal yang cukup, adanya hal-hal yang dipersiapkan secara khusus sebelum keberangkatan (misal pengecekan kondisi kendaraan yang lebih intensif dibandingkan jika dalam penggunaan yang biasa/normal), adanya kesulitan/kepayahan menempuh perjalanan yang tidak didapati pada perjalanan biasa, dan hal-hal lain semisalnya.
Pendapat tanpa batasan jarak minimum ini adalah pendapat Umar bin al-Khottob, Ibnu Umar dalam sebagian riwayat, Anas bin Malik, Sa’id bin al-Musayyib, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaukani, As-Shon’aani, Abdurrahman as-Sa’di, Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin. Dalilnya adalah keumuman ayat:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ‏فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ‏تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ

 
“Jika kalian melakukan perjalanan di muka bumi, maka tidak ada dosa bagi kalian untuk mengqoshor sholat….(Q.S AnNisaa’:101).

Tidak terdapat hadits shohih maupun hasan yang secara tegas membatasi jarak minimum safar.

عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيدَ‏الْهُنَائِيِّ قَالَ سَأَلْتُ‏أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ‏قَصْرِ الصَّلَاةِ فَقَالَ‏كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى‎اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ‏إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ‏ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ‏ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ شُعْبَةُ‏الشَّاكُّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ

 
Dari Yahya bin Yazid al-Hanaa-i beliau berkata: Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang mengqoshor dalam sholat. Beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam jika keluar sejarak 3 mil atau 3 farsakh – keraguan pada perawi bernama Syu’bah- beliau sholat 2 rokaat” (H.R Muslim)

1 mil = sekitar 1,6 km, sehingga 3 mil sekitar 4,8 km. Sedangkan 1 farsakh = 3 mil = sekitar 14,4 km.

عَنِ اللَّجْلاَجِ ، قَالَ : كُنَّا‎نُسَافِرُ مَعَ عُمَرَ بْنِ‏الْخَطَّابِ فَيَسِيرُ ثَلاَثَةَ‏أَمْيَالٍ فَيَتَجَوَّزُ فِي‎الصَّلاَة وَيَفْطُرُ

.
Dari al-Lajlaaj beliau berkata: Kami pernah safar bersama Umar bin al-Khottob. Beliau melakukan perjalanan sejauh 3 mil mengqoshor sholat dan berbuka” (riwayat Ibnu Abi Syaibah no 8221 juz 2 halaman 445).
 
Sebagian Ulama’ menyatakan bahwa jarak di bawah 3 farsakh yang disebutkan dalam hadits Anas maupun perbuatan Umar adalah jarak minimum permulaan boleh mengqoshor sholat dan berbuka (tidak berpuasa), bukan jarak total dari tempat asal ke tujuan. Sebagai contoh, ketika Nabi melakukan perjalanan dari Madinah akan ke Mekkah, pada saat di Dzulhulaifah beliau sudah mengqoshor sholat (riwayat AlBukhari dan Muslim). Padahal jarak Madinah ke Dzulhulaifah adalah sekitar 6 mil atau sekitar 9,6 km.
 
Dari 3 pendapat tentang jarak minimum safar, pendapat yang rajih (lebih mendekati kebenaran) adalah pendapat ke-3 ini yang menyatakan bahwa tidak ada jarak minimum batasan suatu perjalanan dikatakan safar. Wallaahu a’lam.

3.Berapa lama waktu minimum seorang dikatakan safar?
Jawab: Para Ulama juga berbeda pendapat dalam hal berapa lama masa tinggal seseorang di suatu tempat sehingga dianggap tetap dalam keadaan safar. Beberapa pendapat yang masyhur dalam hal ini:
 
1. 4 hari.
Jika berniat tinggal di suatu tempat lebih dari 4 hari, maka ia bukan musafir lagi. Ini adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.
 
2. Sama dengan pendapat pertama, namun hari keberangkatan dan hari kepulangan juga
dihitung, sehingga total 6 hari.
Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Asy-Syafi ’i. Dalil pendapat pertama dan kedua adalah:

يُقِيمُ الْمُهَاجِرُ بِمَكَّةَ‏بَعْدَ قَضَاءِ نُسُكِهِ ثَلَاثًا
 
“Orang-orang yang berhijrah tinggal di Makkah setelah menyelesaikan manasik hajinya selama 
3 hari” (H.R Muslim)
 
3. 15 hari, sebagaimana pendapat Ibnu Umar dan Imam Abu Hanifah.
 
4. 19 hari, pendapat dari Ibnu Abbas.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ‏‎رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا‎قَالَ أَقَامَ النَّبِيُّ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ‏وَسَلَّمَ تِسْعَةَ‏عَشَرَ يَقْصُرُ فَنَحْنُ‏إِذَا سَافَرْنَا
تِسْعَةَ عَشَرَ‏قَصَرْنَا وَإِنْ زِدْنَا‎أَتْمَمْنَا

 
Dari Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhumaa beliau berkata: Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam tinggal (di suatu tempat) selama 19 hari mengqoshor sholat, maka kami jika safar selama 19 hari mengqoshor sholat jika lebih dari itu kami sempurnakan sholat “ (H.R AlBukhari)
 
5. Tidak ada batasan minimum masa tinggal.
Pendapat yang rajih (lebih dekat pada kebenaran), Wallaahu a’lam, pendapat Ulama yang menyatakan tidak ada batasan waktu minimum. Selama seseorang tidak berniat untuk menetap di tempat tersebut, maka ia tetap dalam kondisi safar. Hal ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan didukung oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin. Karena memang tidak ada nash yang shohih dan shorih (tegas) yang membatasinya. Jika disebutkan bahwa Ibnu Abbas melihat batasan 19 hari karena pernah menyaksikan Nabi melakukan hal itu, bagaimana dengan hadits dari Jabir bin Abdillah yang pernah menyaksikan Nabi mengqoshor sholat selama berada di Tabuk 20 hari?

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ‏اللَّهِ قَالَ أَقَامَ رَسُولُ‏اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ‏عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَبُوكَ‏عِشْرِينَ يَوْمًا يَقْصُرُ‏الصَّلَاةَ
 
Dari Jabir bin Abdillah beliau berkata: “Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Tabuk selama 20 hari mengqoshor sholat” (H.R Ahmad, Abu Dawud).
 
Demikian juga dengan yang terjadi pada Ibnu Umar yang terkurung salju di Azerbaijan selama 6 bulan, senantiasa mengqoshor sholat.

Narasumber : http://www.keren.web.id/search/niat-shalat-sunat-safar

Doa Ketika Berpergian Jauh

ALLAAHUMMA BIKA ASTA ‘IINU WA ‘ALAIKA ATA-WAKKALU. ALLAAHUMMA DZALLI LII SHU’UUBATA AMRII, WA SAHHIL ‘ALAYYA MASYAQQATA SAFARII, WARZUQNII MINAL KHAIRI AKTSARA MIMMAA ATHLUBU WASHRIF ‘ANNII KULLA SYARRIN. RABBISHRAH LII SHADRII, WA YASSIR LII AMRII. ALLAAHUMMA ASTAHFIZHUKA WA ASTAUDI’UKA NAFSlI WA DIINII WA AHLII WA AQAARIBII WA KULLA MAA AN’AMTA ‘ALAYYA WA ‘ALAIHIM BIHI MIN AAKHIRATIN WA DUNYAA, FAHFAZHNAA  AJMAIINA MIN KULLI SUU’IN  YAA KARIMU.

“Wahai Allah!’ Kepada Engkaulah aku memohon pertolongan, dan kepada Engkau pulalah aku berserah diri. Wahai Allah! Sederhanakan (mudahkan)lah kesulitan urusanku, mudahkanlah kesukaran perjalananku berilah aku rezeki berupa kebaikan lebih banyak daripada yang aku minta, dan hindarilah aku dari setiap kejahatan. Tuhanku, lapangkanlah dadaku, dan permudahlah urusanku! Wahai Allah! Sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada Engkau, dan aku titipkan kepada Engkau diriku, agamaku, keluargaku, kerabatku, dan segala sesuatu yang Eng¬kau berikan kepadaku dan kepada mereka sebagai nikmat,baik berupa nikmat keakhiratan maupun keduniaan. Oleh karena itu peliharalah kami semua dari setiap kejahatan, wahai Zat Yang Maha Mulia!”

Keterangan :
Orang yang hendak bepergian jauh disunatkan untuk mengerjakan shalat 2 rakaat sebelum berangkat. Shalat seperti ini disebut shalat safar. Cara mengerjakannya sama dengan cara mengerjakan shalat fardhu. Perbedaannya hanyalah pada niat Lafal niatnya adalah:

USHALLII  RAK’ATAINI  LI  IRAADATIS  SAFARI SUNNATAN LILLAAHI  TA’AALAA.
“Aku (niat) shalat 2 rakaat karena hendak bepergian jauh sunat karena Allah Ta’ala.”

Adapun surat yang dibaca, setelah membaca surat Al-Fatihah, pada rakaat pertama adalah surat al-Kaafiruun, dan pada rakaat kedua surat al-Ikhlash. Atau pada rakaat pertama surat al-Falaq dan pada rakaat kedua surat an-Naas. Setelah memberi salam dilanjutkan membaca Ayat Kursi, dan disambung dengan surat al-Quraisy. Setelah itu baru membaca doa diatas dengan ikhlas. Jika telah selesai membaca doa tersebut, maka ketika bangun bacalah:

ALLAAHUMMA ILAIKA TAWAJJAHTU, WA BIKA’-TASHAMTU. ALLAAHUMMAKFINII MAA HAMMANII WA MAA LAA AHTAMMU LAHU. ALLAAHUMMA ZAWWIDNIT TAQWAA, WAGHFIR LII ZAMBII WAWAJJIHNII LILKHAIRI AINAMAA TAWAJJAHTU.

“Wahai Allah! Hanya kepada Engkaulah kuhadapkan wajahku, dan hanya kepada Engkau pula aku berlindung.Wahai Allah! Cukupkanlah aku akan sesuatu yang menyusahkanku dan yang aku tidak merasa susah karenanya. Wahai Allah! Bekalilah aku dengan takwa, ampunilah dosaku, dan arahkanlah aku pada kebaikan ke mana saja aku menuju.”

Sumber : Buku Pedoman Do’a dan Wirid Edisi Lengkap Ust. Drs. Ahmad Seadie Penerbit : Rica Grafika Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar