Narasumber : Penulis: Ummu Fathimah Umi Farikhah
Muroja’ah: Ust. Sa’id Yai Ardiansyah, Lc
http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/kiat-sukses-berteman-tanpa-konflik.html
Hidup bermasyarakat memang sudah menjadi keharusan bagi siapa saja
yang hidup di dunia ini. Adakah orang yang bisa hidup sendiri tanpa
orang lain? Tentu saja tidak ada. Berbagai macam manusia dengan aneka
karakter membuat kita harus bisa menempatkan diri dengan baik.
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sebagai teladan ummatnya memilik akhlak yang paling luhur. Beliau shallallahu’alaihi wasallam
mengajari kita bagaimana cara berinteraksi dengan sesama muslim bahkan
dengan orang kafir sekalipun. Hal ini sebagamana diterangkan dalam
firman Allah Ta’ala, yang artinya,
“Sungguh Engkau (Muhammad), seorang yang berbudi pekerti luhur.” (Qs. Al Qolam: 4)
Dan Allah Ta’ala juga berfirman, yang artinya, “Sungguh telah ada
pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi
orang yang mengharap rahmat Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang
banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Wahai saudariku, semoga Allah Ta’ala merahmatiku dan dirimu. Marilah kita simak apa yang Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
jelaskan berikut ini dengan pendengaran kita. Dan marilah kita
perhatikan apa yang beliau ajarkan kepada kita dengan penglihatan dan
mata hati kita. Dengan mata, telinga dan hati seseorang mampu mengambil
pelajaran, sehingga apa yang kita simak tersebut bisa menghujam dan
tertanam dalam-dalam dalam hati, biidznillahi Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya yang pada
demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai
hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (Qs. Qaf: 37)
Di antara kiat berinteraksi dengan sesama muslim yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam adalah:
Memperlakukan Orang Lain Sebagaimana Ia Menyukai Hal Tersebut Diperlakukan untuk Dirinya
Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa
yang ingin dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka
ketika maut menjemputnya hendaknya dia dalam keadaan beriman kepada
Allah dan hari akhir, memperlakukan orang lain sebagaimana pula dirinya
ingin diperlakukan demikian.” ( HR. Muslim (1844) dan Nasa’I (4191)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan tentang hadits ini, “Hadits ini termasuk jawami’ul kalim (kata-kata yang singkat dan padat namun mengandung makna yang luas, – pen) yang ada pada diri Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam,
termuat banyak hikmah di dalamnya. Ini adalah kaedah yang penting yang
seharusnya menjadi perhatian khusus. Hendaknya manusia mengharuskan
dirinya untuk tidak berbuat sesuatu kepada orang lain kecuali jika ia
menyukai hal tersebut diberlakukan untuk dirinya.” (Syarh an-Nawawi ala Muslim, asy-Syamilah).
Inilah prinsip pertama yang sengaja kami tempatkan diurutan teratas,
karena prinsip ini begitu agung dan mulia. Sungguh seandainya saja semua
manusia menerapkan prinsip ini tentu tidak ada lagi konflik yang
menerpa mereka. Karena mereka akan berpikir dan mempertimbangkan
terlebih dahulu sebelum bertindak. Dan berkata di dalam hati, ” Jika aku
berbuat demikian kepada saudaraku apakah aku juga rela jika dia berbuat
yang sama kepada diriku?”
Jika kita tidak ingin dikhianati maka janganlah kita coba-coba
mengkhiananti orang lain. Jika kita tidak ingin ditipu maka janganlah
sekali-kali kita menipu orang lain, jika kita ingin orang lain tersenyum
kepada kita ketika bersua maka kita pun mengharuskan diri senyum kepada
orang lain, jika kita ingin orang lain menyapa dan ramah kepada kita
maka hendaknya kitapun mengharuskan diri kita untuk ramah kepada orang
lain dan seterusnya. Sehingga ia menjadi orang yang senantiasa
mempertimbangkan dengan matang apa yang akan ia perbuat kepada orang
lain.
Kami yakin tidak ada manusia yang ingin diperlakukan buruk oleh orang
lain, sehingga dengan prinsip ini seharusnya tidak ada lagi pencuri,
penipu, perampok, pendusta, orang yang suka mengadu-domba, orang yang
suka iri dan dengki, orang yang suka membicarakan kejelekan orang lain,
dan lain-lain. Namun sayangnya kebanyakan manusia adalah makhluk yang
picik, mau menang sendiri, sehingga apa yang ia perbuat lebih banyak
merugikan orang lain daripada memberikan manfaat kepadanya, kecuali
orang yang dirahmati Allah. Semoga Allah senantiasa merahmati kita,
menjaga kita dan menjauhkan kita dari akhlak yang buruk. Amin
.
Berkata Baik atau Diam
Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, ” Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata baik atau diam.” (HR. Muslim No. 222)
Dalam hadits ini Nabi shallallahu’alaihi wasallam mengaitkan
antara berkata baik dengan keimanan seseorang kepada Allah dan hari
akhir. Hal ini dikarenakan penjagaan terhadap lisan, mempergunakannya
untuk ucapan-ucapan yang baik dan diam untuk ucapan yang buruk adalah
salah satu tanda dari keimanan. Sesuatu yang paling berat bagi lisan
adalah menjaganya, sebagaimana hadits terkenal yang datang dari Mu’adz radhiallahu’anhu, ketika beliau bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam, “Ya Rasullullah apakah kami akan disiksa karena perkataan yang kami ucapkan? Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
“Celaka engkau wahai Mu’adz, bukankah manusia terlungkup diatas
hidungnya atau diatas wajahnya di neraka disebabkan perbuatan lisannya?”[1].
Hal ini menunjukkan bahaya lidah tak bertulang, mudah mengucapkan kata
namun jika tidak digunakan dalam kebaikan bisa menjadi senjata makan
tuan.(Syarh al Arba’in an Nawawiyah, Syaikh Shalih Ibnu Abdil Aziz Alu Syaikh, hal. 90, Dar Jamil ar Rahman as Salafy, Jogjakarta).
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Hadits di atas memberi
isyarat bahwa seseorang yang ingin berbicara sesuatu maka hendaknya dia
pikir-pikir dahulu. Jika terlihat tidak ada bahaya yang ditimbulkan maka
ia boleh berbicara, namun jika ada tanda-tanda bahaya atau dia
ragu-ragu maka sebaiknya dia diam. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, ” Hadits ini memerintahkan untuk berbicara dalam hal yang baik-baik dan diam untuk hal yang buruk.” (Qawaid wa Fawaid min al Arba’in an Nawawiyah, Nadzim Muhammad Sulthan, hal 137&138, Dar al Hijrah)
Syaikh Ibnu Shalih al Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
“Makna ‘berkata baik’ dalam hadits ini, mencakup berkata baik untuk
dirinya sendiri maupun berkata baik untuk orang lain. Berkata baik untuk
dirinya sendiri ketika seseorang berdzikir kepada Allah, bertasbih
kepada-Nya, memuji-Nya, termasuk juga membaca Al Qur’an, mengajarkan
ilmu , amar ma’ruf nahi munkar maka ini semua menjadi kebaikan untuknya.
Adapun berkata baik kepada orang lain itu berupa perkataan yang membuat
senang teman duduknya meskipun belum tentu baik untuk dirinya
sendiri”.(Syarh al Arbain an Nawawiyah, Syaikh Muhammad Ibnu Shalih al Utsaimin)
Saudariku! Semoga Allah senantiasa merahmatimu, berikut ini akan kami
sebutkan atsar dari para sahabat dan para tabi’in tentang kehati-hatian
mereka dalam menjaga lisan:
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah yang
tiada sesembahan yang berhak disembah selain Dia, tidak ada di atas
bumi ini yang lebih butuh untuk dipenjara lebih lama selain lisanku
ini.”
Beliau radhiallahu ‘anhu juga berkata, “Wahai lisan!
Katakanlah yang baik-baik niscaya engkau akan beruntung. Diamlah dari
kejelekan niscaya engkau akan selamat sebelum engkau menyesali
semuanya.”
Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu berkata, “Tunaikanlah hak
kedua telingamu daripada hak mulutmu. Karena dijadikan untukmu dua
telinga dan satu mulut agar engkau lebih banyak mendengar daripada
berbicara.”
Al Hasan Al Bashri berkata, “Para sahabat berkata, ‘Sesungguhnya
lisan seorang mukmin berada di belakang hatinya, jika dia ingin
berbicara sesuatu maka dia harus menimbang-nimbang dengan hatinya
kemudian baru dia putuskan (berbicara ataukah diam, pen). Adapun lisan
seorang munafik berada di depan hatinya, segala sesuatu dia putuskan
dengan lisannya tanpa sedikitpun menimbangnya dengan hatinya.” (Tazkiyatunnufus, Dr. Ahmad Farid, as Syamilah)
Lihatlah wahai saudariku! Betapa mereka sangat takut jika lisannya
terjerumus kelembah kesia-siaan apalagi kelembah dosa. Namun betapa
jauhnya diri kita dengan mereka, mulut kita ini sangat kotor dan penuh
dengan tipu daya, mudah berbicara dan tiada faedahnya, suka mengadudomba
dan mengumbar fitnah di mana-mana.
Ya Allah, perbaikilah amalan kami dan jauhkan mulut kami dari perbutan keji dan nista. Amin Ya Mujibassailin.
Bermuka Manis Ketika Bertemu
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah
sekali-kali engkau meremehkan kebaikan sekecil apapun, meski hanya
dengan bermuka manis ketika bertemu dengan saudaramu.” (HR. Muslim (2626), Ahmad (5/173) dan Ibnu Hibban (524))
Syaikh Ibnu Shalih al Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Bermuka manis mampu mendatangkan kebahagiaan kepada siapa saja yang
bersua denganmu termasuk mereka yang suka bermuka cemberut ketika
bertemu. Ia mampu menghadirkan rasa kasih sayang dan cinta dan membuat
hati menjadi lapang. Bahkan kelapangan hati itu tidak hanya pada dirimu
tapi juga orang yang yang bertemu denganmu. Namun jika engkau bermuka
muram dan merengut pastilah orang-orang akan lari darimu, mereka tidak
nyaman duduk bersanding denganmu, lebih-lebih untuk bercakap-cakap
denganmu (Kitabul ‘Ilmi, hal 184, Maktabah Nur al Huda).
Saudariku, inilah kemudahan dalam Islam. Allah Ta’ala memberi
kemudahan bagi hambanya untuk memperoleh pahala kebaikan. Sekecil apapun
kebaikan itu pasti Allah Ta’ala akan membalasnya dengan ganjaran bahkan
sampai berlipat ganda.
Saudariku! Apakah kita tidak mau mendapatkan pahala yang tak terduga
karena amalan yang tak seberapa? Marilah kita senyum kepada
saudari-saudarai kita, bermuka manislah ketika bertemu dengan mereka,
niscaya engkau akan merasakan manfaatnya. Coba bayangkan berapa kali
kita bertemu dengan saudara kita dalam sehari, seberapa sering kita
bermuka manis dengan mereka, sebanyak itupula pahala yang kita
dapatkan..
Namun sungguh sangat merugi orang yang suka bermuka masam ketika
bertemu dengan saudaranya, betapa banyak pahala yang terluput darinya..
Menebarkan salam
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalian tidak
akan masuk surga sampai kalian beriman dan kalian tidak akan beriman
hingga kalian saling mencintai. Maukah kuberitahukan sesuatu yang akan
membuat kalian saling mencintai?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tentu wahai Rasulullah”. Beliau bersabda, “Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim N0. 54 dan Bukhari dalam Adabul Mufrad No.980)
Saudariku! Marilah kita perhatikan penjelasan Imam Nawawi berikut ini,“Makna ‘Kalian tidak akan beriman sehingga kalian saling mencintai’
adalah tidak akan sempurna iman seseorang, tidak akan membaik kondisi
imannya hingga mereka saling mencintai.Adapun sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam
‘Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman’, bermakna
sebagaimana zhohir dan kemutlakannya. Bahwasanya tidak akan masuk surga
kecuali orang yang mati dalam keadaan beriman meskipun iman yang tidak
sempurna. Inilah zhohir yang ditunjukkan oleh hadits diatas.” Sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam ‘Tebarkanlah salam di antara kalian’,
hadits ini mengandung perintah yang agung untuk menebarkan salam kepada
kaum muslimin baik yang engkau kenal maupun yang tidak engkau kenal (Syarh an Nawawi ala Muslim, as Syamilah).
Berteman dengan Orang Shalih
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan bersabarlah kamu bersama-sama orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya.” (Qs. al-Kahfi: 28)
Allah berfirman memberitakan penyesalan orang kafir pada hari Kiamat, yang artinya,
“Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si
fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari
Al-Qur‘an ketika Al-Qur‘an itu telah datang kepadaku. Dan adalah setan
itu tidak mau menolong manusia.” (Qs. al-Furqân: 28-29)
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang tergantung agama temannya, maka hendaklah seorang di antara kalian melihat teman bergaulnya.”[2]
Dari Abu Musa al-Asy’ari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya,
perumpamaan teman baik dengan teman buruk, seperti penjual minyak wangi
dan pandai besi; adapun penjual minyak, maka kamu kemungkinan dia
memberimu hadiah atau engkau membeli darinya atau mendapatkan aromanya;
dan adapun pandai besi, maka boleh jadi ia akan membakar pakaianmu atau
engkau menemukan bau anyir.” (HR. Bukhari No.2101 dan Muslim No.6653)
Begitu besarnya pengaruh teman terhadap eratnya jalinan persaudaraan.
Teman yang shalih akan senantiasa menunaikan hak saudaranya, menjaga
kehormatan saudaranya, saling menyayangi diantara mereka, saling
menasehati dalam ketakwaan, tolong menolong dalam kebaikan dan saling
mencintai dan membeci karena Allah. Oleh karena itu wahai saudariku,
bertemanlah dengan orang shalih niscaya engkau akan beruntung.
Semoga Allah senantiasa memberikan taufik kepada kita untuk mengamalkan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allahu A’lam Bishshowab. Washalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi wattabi’in.
[1] Diriwayatkan oleh at Tirmidziy (10/88,87), beliau berkata:
“Hadits ini hasan shahih” , Ibnu Majah (3973), Hakim (2/413) dan
dishahikan oleh al Albani.
[2] Shahih, diriwayatkan Imam Abu dawud dalam Sunan-nya (4833), at
Tirmidzy dalam Sunan-nya (2379) dan beliau berkata: “Hadits ini hasan”
dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (3/303,334).
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tafsir Al-Quran:
0 komentar:
Posting Komentar